Sel. Des 23rd, 2025
BI Catat Kredit Properti Naik 7,4% YoY November 2025, Capai Rp 1.513,5 T

Pilar NarasiBank Indonesia (BI) mencatat pertumbuhan kredit perbankan secara keseluruhan mencapai 7,74% year‑on‑year (yoy) pada November 2025, naik tipis dibanding bulan sebelumnya yang sebesar 7,36% (yoy). Dalam laporan perkembangan kredit itu, salah satu pendorongnya adalah kredit properti, yang tumbuh signifikan dan mencapai angka sekitar Rp 1.513,5 triliun pada periode tersebut atau tumbuh sekitar 7,4% secara tahunan menurut analis pasar.

Meski mengalami peningkatan dibanding Oktober 2025, BI menilai pertumbuhan kredit secara umum dan khususnya di segmen properti belum sepenuhnya kuat. Hal ini terlihat dari jumlah fasilitas pinjaman yang belum dicairkan (undisbursed loan) yang masih sangat besar, mencapai sekitar Rp 2.509,4 triliun atau sekitar 23,18% dari total plafon kredit yang tersedia.

Apa yang Menjadi Pendorong Utama Kredit Properti?

Pertumbuhan kredit properti ini dipengaruhi oleh peningkatan pembiayaan rumah, apartemen, dan sektor real estate lainnya yang didukung oleh permintaan konsumen yang kembali menggeliat setelah beberapa periode stagnan. Sebelumnya pada Oktober 2025, kredit properti telah tercatat sebesar sekitar Rp 1.471,9 triliun dengan pertumbuhan sekitar 5% (yoy).

Kenaikan kredit properti dianggap mencerminkan pembalikan kepercayaan konsumen terhadap pasar properti, terutama segmen rumah tinggal menengah dan kecil. Bank‑bank nasional juga mulai melonggarkan persyaratan pemberian kredit (lending requirement) bagi debitur berkualitas, guna mendorong penyaluran kredit yang produktif.

Pernyataan Gubernur BI: Pertumbuhan Kredit Belum Optimal

Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo, dalam konferensi pers di Jakarta, menilai pertumbuhan kredit, termasuk di sektor properti, masih berada di bawah ekspektasi dan target Bank Indonesia untuk 2025, yang diproyeksikan berada di kisaran 8%–11% (yoy). Menurut Perry, meskipun angka kredit properti menunjukkan perbaikan, permintaan kredit secara umum masih belum kuat karena masih banyak pelaku usaha dan individu yang mengadopsi sikap wait and see atau menunggu dan mengamati kondisi pasar.

Perry menjelaskan bahwa sejumlah faktor turut memengaruhi lambatnya penyaluran kredit, antara lain:

  • Kecenderungan perusahaan untuk melakukan optimalisasi pembiayaan internal daripada mengambil pinjaman baru.
  • Penurunan suku bunga kredit yang masih berlangsung lambat, sehingga daya tarik kredit belum optimum.
  • Ketidakpastian ekonomi global dan kondisi pasar domestik yang membuat pelaku usaha berhati‑hati.

Tingginya Kredit yang Belum Dicairkan

Salah satu data yang menjadi sorotan adalah tingginya jumlah kredit yang belum dicairkan meskipun sudah disetujui oleh bank. Angka undisbursed loan yang mencapai lebih Rp 2.500 triliun menunjukkan bahwa masih banyak kredit yang belum benar‑benar disalurkan ke debitur, meskipun plafonnya telah tersedia. Kondisi ini menjadi perhatian karena menunjukkan bahwa minat atau kebutuhan aktual akan pinjaman belum sepenuhnya sesuai dengan kapasitas kredit yang tersedia di perbankan.

Fenomena ini juga berdampak pada kecepatan penyaluran kredit yang lebih lambat dibandingkan ekspektasi BI. Bank Indonesia berharap agar proses pencairan kredit lebih cepat, terutama di sektor produktif seperti properti, usaha infrastruktur, dan kegiatan ekonomi yang berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi domestik.

Bank Indonesia Dorong Penurunan Suku Bunga dan Kebijakan Pro‑Pertumbuhan

Bank Indonesia mempertahankan suku bunga acuannya (BI‑Rate) di level 4,75% sejauh Desember 2025 guna menjaga keseimbangan antara stabilitas makroekonomi dan daya beli masyarakat. Kebijakan ini memberikan ruang bagi bank umum untuk menurunkan suku bunga kredit secara bertahap tanpa mengorbankan stabilitas nilai tukar rupiah atau inflasi.

Selain itu, melalui kebijakan insentif likuiditas makroprudensial (KLM), BI mendorong bank‑bank untuk menyalurkan kredit ke sektor prioritas — termasuk sektor properti, perumahan rakyat, dan konstruksi. Insentif tersebut diyakini akan memberikan dorongan tambahan bagi pertumbuhan kredit di 2026.

Respons Pelaku Industri Properti

Pelaku industri properti menyatakan bahwa pertumbuhan kredit properti yang lebih tinggi pada November 2025 merupakan sinyal positif setelah periode pembatasan ekspansi investasi oleh pengembang selama beberapa bulan terakhir. Menurut mereka, konsumen kini lebih percaya diri menjajaki pembelian rumah dan apartemen baru, terutama di wilayah pinggiran dan kawasan berkembang.

Namun demikian, beberapa pengembang juga mencatat bahwa harga bahan bangunan dan biaya konstruksi yang tinggi masih menjadi tantangan dalam memenuhi permintaan pasar. Untuk itu, kolaborasi antara perbankan dan sektor properti dalam menyediakan pembiayaan yang terjangkau dinilai penting untuk mempertahankan momentum pertumbuhan.

Peran Kredit Properti terhadap Ekonomi Nasional

Kredit properti tidak hanya berkontribusi pada sektor perumahan, tetapi juga berpengaruh besar pada perlambatan atau percepatan kegiatan ekonomi secara keseluruhan. Pembiayaan perumahan yang kuat cenderung meningkatkan permintaan akan bahan bangunan, tenaga kerja konstruksi, jasa arsitektur, dan sektor jasa lainnya sehingga memengaruhi indikator makro seperti konsumsi, investasi, dan penciptaan lapangan kerja.

Karena itu, pertumbuhan kredit properti yang konsisten dianggap sebagai salah satu leading indicator kesehatan ekonomi domestik — khususnya di tengah upaya Indonesia memacu pertumbuhan menjelang 2026.

Outlook Pertumbuhan Kredit 2026

Bank Indonesia optimistis bahwa pertumbuhan kredit akan meningkat pada 2026, terutama bila suku bunga kredit turun lebih cepat dan penyaluran kredit tersalur ke sektor produktif. BI juga berharap bahwa perbaikan penyaluran kredit properti dapat semakin memperkuat sektor riil dan mendukung pertumbuhan ekonomi nasional yang diproyeksikan akan meningkat.

Namun, tantangan seperti sikap kehati‑hatian pelaku usaha serta ketidakpastian global tetap menjadi faktor yang perlu diwaspadai agar perbaikan tren kredit tidak stagnan.

By admin